Jumat, 01 November 2013
Faktor Penyebab Terjadinya TAKABBUR
Takabur -yang telah kita ketahui definisinya- merupakan penyakit hati
tingkat tinggi yang harus diwaspadai oleh semua muslim, termasuk aktifis
dakwah. Dikatakan penyakit hati tingkat tinggi karena sejarah iblis
laknatullah dimulai dari penyakit satu ini. Merasa lebih tinggi dari
Adam, ia lalu mendurhakai perintah Allah untuk bersujud padanya. Abaa
wastakbara, kata Al-Qur’an. Demikian pula para penguasa taghut yang
menjadi musuh para nabi dan rasul, semuanya dihinggapi penyakit ini.
Dengan mengetahui faktor-faktor penyebab suatu penyakit, diharapkan
kita bisa menghindarinya. Demikian pula dengan takabur ini. Ada beberapa
faktor penyebab yang semoga setelah kita mengetahuinya lalu berupaya
keras untuk menghindarinya, sebagaimana kita menghindari api yang telah
kita ketahui panasnya bisa membakar kita.
Berikut ini adalah sebagian dari faktor penyebab takabur:
1. Salah dalam Memahami Hakikat Dirinya
Iblis sebagai makhluk pertama yang dihinggapi takabur hingga membuatnya
terlempar dari surga, melakukan kesalahan fatal dalam memandang hakikat
dirinya. Ia lupa betapapun ia ditempatkan di surga, sebenarnya ia
adalah makhluk Allah.
Demikian pula orang yang takabur,
terutama ketika merendahkan orang lain. Ia salah dalam memandang hakikat
dirinya yang pada mulanya tercipta dari air yang hina.
Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. (QS. As-Sajdah :
Ia tidak ingat ayat ini. Ia tidak menyadari hakikat dirinya. Yang ia
tahu ia kini adalah manusia dengan organ yang sempurna, sosok yang
hebat, dan wajah yang rupawan. Berbagai potensi yang telah dianugerahkan
Allah kepadanya, mulai dari kecerdasan sampai kekayaan dan kekuasaan,
dianggap sebagai milik dirinya sendiri. Hingga segala kelebihan dari
fisik hingga akal itu dipahami sebagai hakikat dirinnya.
2. Salah dalam Memahami Hakikat Kemuliaan
Ketika iblis mengaku lebih mulia dari Adam, ia menggunakan parameter yang salah dalam mengukur kemuliaan.
Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah
kamu semua kepada Adam", lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata:
"Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari tanah?"
(QS Israa’ : 61)
Allah berfirman: "Apakah yang menghalangimu
untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?" Iblis menjawab:
"Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia
Engkau ciptakan dari tanah". (QS Al A’raaf :12)
Jika iblis
memahami hakikat kemuliaan ditentukan dari asal penciptaan, orang
seperti Fir’aun memahami hakikat kemuliaan ditentukan oleh kekuasaan.
Lalu orang seperti Qarun menganggap kemuliaan ditentukan oleh kekayaan.
Dan orang seperti Haman menganggap kemuliaan ditentukan oleh kekuatan
dan kecerdasan.
Tiga hal yang disebutkan terakhir ini
barangkali saat ini amat dominan dipakai sebagai logika kemuliaan. Maka
jika kebenaran berasal dari mereka yang tidak lebih berkuasa akan
ditolak. Al-haq yang dibawa oleh mereka yang tidak lebih kaya dari
dirinya tidak akan diterima. Dan keadilan yang dilantangkan oleh mereka
yang tidak lebih kuat dari dirinya juga akan diabaikan.
Ada hal
lain yang juga menjadi standar salah dalam memandang hakikat kemuliaan.
Misalnya usia, pengetahuan, pengalaman, bahkan jasa. Termasuk dalam
dakwah. Maka kadang terjadi aktifis dakwah yang terjebak pada takabur
dan tidak mau menerima kebenaran karena merasa usia perjuangannya lebih
lama, pengalaman dakwahnya lebih banyak, atau jasanya lebih besar.
Hingga ada pula yang karena memandang dirinya adalah qiyadah, maka
perbedaan yang dibawa oleh jundiyahnya selalu dianggap salah. Kesalahan
dalam memahami hakikat kemuliaan bisa menjerumuskan kita ke dalam
ke-takabur-an sebagaimana iblis diusir dari surga dan dilaknat Allah
selama-lamanya.
3. Tidak Memiliki Pemahaman yang Benar tentang Hakikat Kebenaran
Ali radhiyallaahu anhu terkenal dengan kata-katanya: ”Lihatlah apa yang
diucapkan dan jangan lihat siapa yang mengucapkan.” Seringkali kita
memahami maqalah ini sebagai upaya untuk obyektif menilai kebenaran.
Namun di sana juga ada nilai bahwa kebenaran akan selamanya benar
meskipun datangnya dari siapapun.
Jika kita memiliki standar
penilaian yang benar, insya Allah kita akan lebih selamat dari bahaya
menolak kebenaran, sebuah sikap yang merupakan inti takabur. Dan
kebenaran itu adalah apa yang benar menurut Allah dan Rasul-Nya
(Al-Qur'an dan Sunnah), siapapun yang mengatakannya.
4. Mengira bahwa Nikmat itu Kekal pada Dirinya
Orang yang takabur biasanya lupa bahwa alasan yang melatarinya untuk
berbuat demikian tidaklah abadi pada dirinya. Kenikmatan yang ia
rasakan, yang dengannya ia menyombongkan diri hanyalah bersifat
sementara. Allah bisa mencabutnya dalam waktu yang cepat dan tak
terkira.
Tidak peduli apakah kenikmatan yang kemudian
disombongkan itu berupa harta, keturunan, popularitas, jabatan,
kekuasaan, dan sebagainya. Perihalnya menyerupai orang yang digambarkan
Allah SWT dalam salah satu firnam-Nya:
Dan dia memasuki kebun
sedangkan dia zalim terhadap dirinya sendiri. Ia berkata, "Aku kira
kebun itu tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari
kiamat itu akan datang. Sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku pasti
aku akan mendapatkan tempat yang lebih baik daripada kebun-kebunku itu."
(QS. Al-Kahfi : 35-36)
5. Sikap Tawadhu’ Orang Lain yang Berlebihan
Ini adalah faktor eksternal yang bisa menyebabkan seseorang mejadi
takabur. Sebab orang-orang di sekelilingnya terlalu tawadhu secara
berlebihan kepada dirinya. Sebab ini sering dijumpai pada pemimpin atau
guru yang takabur disebabkan lingkungan seperti ini. Pengikut yang
tawadhu', selalu menghormatinya, dan tidak pernah menasehatinya,
mengarahkan seseorang berpikiran bahwa ia adalah orang mulia dan jauh
dari kesalahan. Guru yang selalu dihormati muridnya dan mendapatkan
kemuliaan dari mereka juga berpotensi menganggap dirinya sempurna.
Jadilah ia takabur. Tidak menutup kemungkinan hal ini juga menimpa
ulama. Karenanya mencium tangan seseorang baik itu pemimpin maupun ulama
dimakruhkan oleh sebagian ulama.
Begitu pula penghormatan
dengan berdiri dan berbagai bentuknya. Selain itu merupakan bentuk
ketawadhu'an yang memperlemah posisi orang yang melakukan, juga bisa
menjadi faktor penyebab takabur bagi orang yang diberi penghormatan.
Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa yang suka agar orang-orang berdiri untuk menghormatinya,
maka bersiaplah untuk menempati tempat duduk dari api neraka. (HR. Abu
Daud)
Dalam kesempatan yang lain beliau bersabda:
Janganlah kalian berdiri menyerupai orang-orang yang saling mengagungkan satu sama lain (HR. Abu Daud)
6. Pujian Orang Lain di Depannya Secara Berlebihan
Selain ketawadhuan, pujian orang lain didepan seseorang juga berpotensi
membawa takabur pada orang yang dipuji. Karenanya Rasulullah
mengingatkan, bahkan dengan tegas kepada orang yang suka memuji orang
lain di depannya, apalagi secara tidak proporsional.
Rasulullah memerintahkan kami untuk menaburkan tanah ke muka orang yang suka memuji (HR. Muslim)
7. Lalai terhadap Dampak Buruk Takabur
Orang yang takabur biasanya karena ia lalai terhadap dampak takabur.
Kelalaian di sini bukanlah kelalaian secara pengetahuan atau kognitif.
Sebab betapa banyak orang yang secara teori hafal dampak buruk takabur
tetapi ia tetap melakukannya.
Kelalaian di sini lebih dalam
maknanya daripada itu. Yakni memahami dan menyadari bahwa jika ia
melakukan takabur dampak buruk dunia akhirat bisa menghancurkannya. Di
saat seseorang sadar akan bahaya yang menimpanya, maka ia akan
menghindari perbuatan itu. Sementara pengetahuan atau hafalan yang tidak
mencegah seseorang dari takabur, belumlah mengeluarkan ia dari
kelalaian yang sebenarnya.
Demikian 7 faktor penyebab takabur,
semoga dengan mengetahuianya Allah menjadikan kita paham akan
sebab-sebab yang bisa menjerumuskan kita pada takabur. Dengan pemahaman
itu kita berdoa kepada Allah agar dihindarkan dari ketujuh hal itu dan
diselematkan dari takabur
Sumber
Langganan:
Postingan (Atom)